Friday, March 16, 2007

Dunia Arsip Dunia TI

OTOMASI KEARSIPAN

Sebuah Tuntutan dan Tantangan Profesionalisme

Di Bidang Kearsipan

A. Pengantar

Perkembangan teknologi informasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Imbas dari perkembangan tersebut menyeruak kesegala bidang termasuk kearsipan. Sebagai peminat dan kalangan yang berkecimpung di bidang kearsipan tentu kita harus merespon secara positif perkembangan tersebut. Hal itu akan sangat menguatkan eksistensi kita sebagai pengelola kearsipan yang merupakan bagian dari pengelola informasi, sesuatu yang menjadi mainstream di abad ini.

Apabila selama ini peran pengelola kearsipan dalam suatu organisasi dipandang relatif rendah maka dengan kemampuan mengadopsi perkembangan teknologi informasi tersebut akan merubah image yang selama ini melekat pada diri pengelola bidang kearsipan (arsiparis).

Salah satu produk perkembangan teknologi informasi adalah komputer. Produk tersebut mulai mempengaruhi konsep manajemen kearsipan, misalnya komputerisasi sistem pengendalian surat dinas, dimana komputer dalam konteks ini digunakan sebagai alat bantu di dalam mengendalikan surat dan membantu mempercepat penemuan kembali. Disamping contoh tersebut tentu masih sangat banyak kemampuan teknologi tersebut yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka manajemen kearsipan. Potensi teknologi canggih tersebut telah memberikan peluang untuk melakukan kegiatan otomasi arsip yaitu pengelolaan atau penanganan arsip beserta jalan masuknya yang dilaksanakan secara mekanik dan elektrik.1

B. Otomasi Kearsipan :Sebuah Tuntutan

Otomasi kearsipan sebenarnya merupakan hal yang urgen apabila suatu organisasi atau kantor telah menerapkan kebijakan otomasi. Pada prinsipnya otomasi kearsipan menjadi bagian dari otomasi perkantoran yang oleh Wallace diterangkan bahwa office automation involves the use of technology in the creation, storage, manipulation, retrieval, reproduction, and dissemination of information.2

Dalam bidang kearsipan penggunaan media otomasi bukan saja menjamin efisiensi, tetapi juga mampu mengurangi atau mengembangkan kebutuhan duplikasi apabila hal itu diperlukan. Pengiriman, pemrosesan, penyimpanan dan penemuan kembali informasi dapat dilakukan melalui sistem yang bekerja secara otomatis. Dengan otomasi kemudahan akan dapat dberikan kepada pengguna informasi.

Manajemen kearsipan yang berbasis komputer dapat membantu dalam mengelola seluruh elemen dalam life cycle of records. Namun demikian kita memang tidak serta merta bisa menerapkan konsep-konsep otomasi tersebut. Pada hakikatnya ada beberapa hal yang urgen diperhatikan sebelum menerapkan otomasi, antara lain :

- Perencanaan otomasi, yang menekankan pada analisis terhadap fungsi arsip-arsip yang dimiliki serta jumlah dan sirkulasinya.

- Menentukan secara tepat tujuan dari otomasi

- Memahami teknologi komputer, digital image, jaringan dan internet

- Mengidentifikasi kemungkinan karakteristik pengguna

B.1. Document Imaging dalam Otomasi Kearsipan

Perkembangan otomasi kearsipan telah berkembang pesat di Eropa Barat dan Amerika Utara, dan sekarang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Salah satu teknik yang popular dalam otamasi kearsipan adalah document imaging. Pengertian dari document imaging adalah:

The process of scanning pages or importing files into a database that will display the scanned page and ASCII text on the screen for later viewing.

Dengan teknik tersebut pengelolaan arsip dapat dilakukan dengan mudah, baik itu kegiatan mengindeks maupun menelusur dan menemukan kembali (retrieval) secara full text dokumen yang dikelola.

Keuntungan yang ditawarkan oleh penerapan teknik otomasi tersebut adalah:

a. Penghematan

b. Keamanan

c. Kemudahan dan Kecepatan akses

Salah satu fasilitas yang memanfaatkan teknologi komputer dengan document imaging tersebut kiranya akan mampu mengaplikasikan prinsip dalam kearsipan yaitu menyimpan teratur, menemukan cepat, tepat dan lengkap.

B.2. Winisis: Salah satu Software yang Mendukung Penerapan Document Imaging.

Perangkat lunak Winisis merupakan perangkat yang dikembangkan oleh Unesco dalam kaitannya dengan Computerized Documentation System(CDS)/ Integrated Set of Information System(ISIS). Keunggulan CDS/ISIS atau Winisis adalah kemampuan memanipulasi jumlah yang tak terbatas atas data yang berisi berbagai elemen yang berbeda.

Prinsip dari database ini adalah kemampuan menampilkan secara full text dari arsip-arsip yang tentu saja telah diolah sedemikian rupa menurut kaidah document imaging. Selain itu Winisis juga mampu mengintegrasikan arsip-arsip dalam karakter fisik yang berbeda-beda, still image, moving image maupun sound recording.

C. Tantangan Yang Harus Segera Dijawab

Sebagai bagian akhir dari uraian ini, perlu kiranya dikemukakan bahwa untuk melangkah dari tahapan konsep lama ke arah otomasi penuh dengan kosekuensi. Pertama, kita harus segera mengadopsi kemampuan teknis otomasi yang sekarang ini berkembang pesat, tentu saja dalam konteks ini adalah yang relevan dengan bidang kearsipan.

Pemahaman kita tentang manajemen kearsipan adalah dasar yang esensial untuk dapat mengadopsi secara tepat otomasi yang akan diterapkan. Selain itu, realitas bahwa nilai suatu arsip ternyata tidak hanya pada informasi yang terdapat dalam setiap lembar arsip tetapi juga fisiknya. Hal ini berhubungan dengan keotentikan suatu arsip, biasanya diperlukan sebagai bahan pembuktian. Kondisi yang demikian tersebut merupakan tantangan yang harus disikapi apabila kita akan menerapkan otomasi.

Meskipun berbagai kendala akan banyak dihadapi dalam menerapkan otomasi kearsipan, namun tentu saja kita tidak akan surut dari kesempatan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi tersebut.



1 Yayan Daryan dan Hardi Suhardi, Terminologi Kearsipan Indonesia (Jakarta&Bandung: SCU&LP2A,1998), hal.127.

2 Patricia E. Wallace and Jo Ann Lee, Records Management: Integrated Information Systems (New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1992), hal. 478.

Thursday, March 15, 2007

Zaman gemilang telah lahir, namun yang kita temui adalah generasi kerdil



(Satu bait Sajak Schiller yang di kutip Hatta)

Kesadaran Sejarah

KESADARAN SEJARAH

Tanpa mengetahui sejarahnya, suatu bangsa tidak mungkin mengenal dan memiliki identitasnya(Sartono, 1992). Realitas kekinian Indonesia sebagai bangsa tampaknya sedang diuji sejauhmana pemahaman dan pemaknaan bangsa ini terhadap identitas itu. Jati diri yang sekian lama dibanggakan ternyata goyah oleh gelombang perubahan yang tidak terduga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarah?

Lebih dari setengah abad Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka, hal itu ternyata belum menjadi jaminan untuk terbebas dari realitas yang serba bertolak belakang. Kemerdekaan dalam perjalanan bangsa ini hanya dimaknai sebagai kebanggaan yang serba semu, karena pengalaman panjang untuk meraihnya serta perjuangan pembentukan bangsa ini tidak lagi menjadi sumber kearifan. Bahkan pengalaman sejarah tersebut senantiasa dimanipulasi sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Apalah artinya kelampauan kalau tidak menambah pemahaman dan kearifan kita tentang hari kini dan memberikan wawasan bagi pembentukan visi masa depan?

Sebagian besar generasi yang hidup di awal milenium ketiga ini harus memikul beban yang teramat berat karena keteledoran bangsa ini membaca sejarah. Kesadaran bangsa ini baru terusik manakala kebanggaan “persatuan dan kesatuan” yang selama ini digembar-gemborkan ternyata hanya sebuah mitos yang berakar pada pembodohan anak bangsa. Maka ketika akselerasi dinamika sosial politik semakin diwarnai tuntutan-tuntutan yang mencengangkan serta maraknya konflik horizontal, maka kita gagap menyikapinya.

Kebanggaan nusantara sebagai untaian zamrut yang menjadi kidung merdu selama ini terancam putus. Maka seperti prediksi Compton, seandainya untaian rumit yang melingkari persatuan Indonesia itu longgar dan putus, permata pertama yang jatuh tentulah Aceh (Compton, 1993:45). Benar dan tidaknya prediksi tersebut, hal tersebut menjadi kekawatiran kita semua, akankah sindrom Balkanisasi akan kita alami setelah Timor Timur benar-benar bercerai dari Republik Indonesia?

Berbagai macam gejolak sosial senantiasa diwarnai penonjolan simbol-simbol perbedaan suku, ras, agama dan antar golongan. Apa yang muncul saat ini seolah merupakan akumulasi kerapuhan dari kenyataan-kenyataan yang selama ini dibungkus dalam wadah bhineka tunggal ika yang meninggalkan prinsip-prinsip keadilan.

Dalam konteks realitas empiris yang demikian itu lalu apa yang mampu diperbuat (sebagai bangsa) selain berefleksi, retrospeksi, meluruskan kembali jalan sejarah. Momentum ini seharusnya menyadarkan bahwa selama ini kita dipaksa untuk memberhalakan persatuan dan kesatuan, sedangkan praktek ketidak adilan berlangsung dalam kewajaran dan tanpa kontrol bahkan menjadi bagian yang menemukan justifikasinya.

QUO VADIS NASIONALISME INDONESIA?

Bangsa bukanlah asosiasi sukarela, melainkan komunitas dimana sebagian besar anggotanya dilahirkan dan mati sehingga kita bersama-sama terikat dengan saudara sebangsa dalam sebuah komunitas takdir. Selain itu komunitas ini memiliki sejarah yang paling panjang , sehingga kewajiban-kewajiban kita tidak hanya bagi mereka yang sezaman tetapi juga bagi para anggota komunitas dimasa lalu dan masa depan, kita harus berpegang teguh pada prinsip kebangsaan, sementara berjuang untuk menempa identitas nasional yang dapat mengakomodasi pluralisme (Miller, 1995; 416-420). Prinsip kebangsaan tersebut adalah kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), kepribadian (personality) dan prestasi (performance) (Sartono, 1995;15)

Paralel dengan tesis di atas, maka nasionalisme kita lahir dan berkembang sebenarnya bukan saja sekedar akibat penjajahan. Nasionalisme kita adalah hasil dari kekuatan imajinasi dan keresahan intelektual, yang mengharuskan mereka, para pelopor bangsa, melihat jauh, melampaui ikatan komunitas riil masing-masing. Dalam konteks tersebut faktor ras, etnisitas, bahasa, dan agama dilihat bukan sebagai hal yang harus menghalangi konsepsi awal mereka tentang nasionalisme. Maka saat ini kita seharusnya menghargai pengalaman kolektif (sejarah) tersebut sebagai basis untuk tetap menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia.

Apabila pengalaman sejarah bangsa ini, yang di dalamnya melekat pelajaran tentang nilai-nilai dan semangat pengorbanan dalam arti menempatkan kepentingan sendiri di belakang kepentingan bangsa tidak bisa merekatkan kembali zamrut yang akan terlepas serta mengembalikan kesadaran berbagai kelompok yang merasa paling berhak atas hitam putihnya negeri ini, lalu bagaimana kita harus memaknai proses historis tersebut? Seharusnya kita mau menoleh kebelakang, ke suatu wilayah zaman dimana bangsa ini mengukir pengalaman kolektif, berjuang menumbuhkan nasionalisme dalam gelombang pertentangan yang teramat keras, namun ternyata mampu dilampaui. Kini ketika identitas nasional telah diwujudkan semestinya kita mampu memaknai dan mempertahankanya.

Apabila kita kembali pada bangsa sebagai komunitas takdir sebagaimana disebutkan dalam tesis Muller di atas, seharusnya nasionalisme dimaknai sebagai suatu yang given, tetapi melihat realitas Indonesia yang mengisyaratkan goyahnya pondasi kebangsaan akhir-akhir ini, tampaknya kenyataan tersebut lebih menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia tidak lebih dari suatu imagined communities, gambaran tentang bangsa seperti dikemukakan oleh Anderson. Komunitas bangsa Indonesia yang dibayangkan oleh Soekarno, sebagai memiliki masa lalu yang gemilang, masa kini yang kelam dan masa depan yang penuh harapan.

KESADARAN SEJARAH

Suatu bangsa terbentuk dari pengalaman bersama di masa lampau, maka sejarah menjadi esensial bagi nasion, oleh karena itu pengetahuan sejarah menjadi dasar pendidikan nasional. Dalam hal ini kita ternyata masih harus mengakui urgensi pengajaran sejarah, karena tujuan pengajaran sejarah yang pokok adalah;

1. Supaya manusia mengenal dirinya sendiri sebagai kelompok, misalnya bangsa

2. Menjadikan titik tolak pembangunan masa kini dan masa datang, karena peristiwa sejarah berkesinambungan dari lampau, kini dan datang.

3. Menemukan ilham dan keteladanan dari masa lampau demi hidup pada masa sekarang dan yang akan datang.

4. Memperkenalkan kepada peserta didik bahwa dunia itu berproses dan berubah

5. Membangkitkan apresiasi kultural serta persahabatan antar bangsa menuju perdamaian dunia.

Konflik sosial yang mengemuka saat ini seharusnya dapat direduksi apabila bangsa ini sedikit saja memiliki kesadaran sejarah, karena dari kesadaran tersebut berarti kita bisa belajar dari pengalaman-pengalaman kolektif sebagai bangsa. Ekskalasi konflik pada level elite maupun horizontal yang semakin luas pada saat ini merupakan refleksi belum sempurnanya penerapan prinsip nasionalisme, kesatuan nasional kita ternyata masih rapuh. Hal tersebut mengindikasikan lemahnya kesadaran kolektif (collective consciousness) bangsa ini, yang berarti lemahnya kesadaran sejarah.

Dengan melihat kenyataan Indonesia saat ini, urgensi membangkitkan kesadaran sejarah seperti dikemukakan di atas perlu segera dimulai. Pengajaran sejarah yang selama terbukti belum mampu membangkitkan kesadaran tersebut perlu disikapi sedini mungkin. Dalam konteks ini perlu dirumuskan kembali konsep-konsep pendidikan sejarah, sehingga sejarah nasional Indonesia benar-benar berfungsi sebagai wujud eksistensi nation Indonesia, sejarah nasional juga harus mampu melegitimasi kebangsaan Indonesia sebagai produk sejarah.

Kesadaran nasional berakar pada kesadaran sejarah. Kesadaran tersebut dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi kebanggaan nasional dan memperkuat kebanggaan Indonesia. Kesadaran sejarah juga memantapkan identitas nasional sebagai simbol solidaritas nasional, hal ini berarti pertentangan-pertentangan yang mengarah pada perpecahan bangsa dapat dicegah.

Dengan menoleh kebelakang, menengok pengalaman sejarah bangsa Indonesia kita dapat mengidentifikasi sebab-sebab tuntutan dan gejolak serta berpeluang untuk menetapkan skala prioritas pemecahannya. Jika kita cermati terdapat beberapa aspek yang bisa kita baca dari pengalaman sejarah tentang sebab-sebab gejolak dan tuntutan yang selama ini diabaikan;

1. Perkembangan ekonomis yang menciptakan konflik kelas berdasarkan perbedaan keberhasilan dalam kemajuan pembangunan ekonomi

2. Birokrasi yang ambivalen, dengan tidak adanya pemisahan urusan/kepentingan formal kedinasan dan yang pribadi, dengan dampak gaya feodal dalam perlakuan terhadap rakyat.

3. Kecenderungan sektarian

4. Kepemimpinan di tingkat bawah berkurang kewibawaannya serta cenderung lebih melayani atasan

5. Mentalitas materialis lebih menentukan hubungan sosial, semakin bersifat egosentrisme, serta mengalami dehumanisasi.

6. Baik di bidang pemerintahan maupun swasta, primordialisme semakin dominan (Sartono, 1999; 48-49) .

Orientasi baru yang urgen dipahami dan diaktualisasikan oleh seluruh komponen bangsa ini;

1. Digantikannya cara berfikir ekonomisme oleh cara berfikir yang mendasarkan pada keadilan sosial.

2. Digantikannya individualisme oleh cita-cita kemasyarakatan

3. Orientasi elitis digantikan oleh orientasi massa

4. Budaya mitis digantikan budaya ilmiah

5. Kesadaran teknokratis digantikan oleh kesadaran “hati nurani”.

PERSEMBAHAN

SHARING MASALAH KEARSIPAN

MEMAKNAI KEMBALI ARSIP

SEBAGAI SUMBER INFORMASI


Persoalan mendasar yang dihadapi para pengelola kearsipan sebenarnya bukan terletak pada sulitnya menerapkan suatu sitem kearsipan, tetapi lebih pada bagaimana meyakinkan orang untuk mau menerapkan sistem kearsipan

A. Pengantar

Dewasa ini, informasi menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Keseluruhan kegiatan organisasi pada dasarnya membutuhkan informasi. Oleh karena itu, informasi menjadi bagian yang sangat penting untuk mendukung proses kerja administrasi dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dari birokrasi didalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dengan cepat.

Salah satu sumber informasi penting yang dapat menunjang proses kegiatan administrasi maupun birokrasi adalah arsip (record). Sebagai rekaman informasi dari seluruh aktivitas organisasi, arsip berfungsi sebagai pusat ingatan, alat bantu pengambilan keputusan, bukti eksistensi organisasi dan untuk kepentingan organisai yang lain. Berdasarkan fungsi arsip yang sangat penting tersebut maka harus ada menajeman atau pengelolaan arsip yang baik sejak penciptaan sampai dengan penyusutan.

Pengelolaan arsip secara baik yang dapat menunjung kegiatan administrasi agar lebih lancar seringkali diabaikan dengan berbagai macam alasan. Berbagai kendala seperti kurangnya tenaga arsiparis maupun terbatasnya sarana dan prasarana selalu menjadi alasan buruknya pengelolaan arsip di hampir sebagian besar instansi pemerintah maupun swasta. Kondisi semacam itu diperparah dengan image yang selalu menempatkan bidang kearsipan sebagai “bidang pinggiran” diantara aktivitas-aktivitas kerja lainnya.

Realitas tersebut dapat dilihat dalam berbagai kesempatan diskusi dan seminar bidang kearsipan yang senantiasa muncul keluhan dan persoalan klasik seputar tidak diperhatikannya bidang kearsipan suatu instansi atau organisasi, pimpinan yang memandang sebelah mata tetapi selalu ingin pelayanan cepat dan tentu saja persoalan tidak sebandingnya insentif yang diperoleh pengelola kearsipan dengan beban kerja yang ditanggungnya.

Problema-problema tersebut tentu sangat memprihatinkan, karena muaranya adalah pada citra yang tidak baik pada bidang kearsipan. Padahal bidang inilah yang paling vital dalam kerangka kerja suatu administrasi. Tertib administrasi yang diharapkan hanya akan menjadi “omong kosong” apabila tidak dimulai dari tertib kearsipannya.

Dipandang dari nilai pentingnya arsip, semua orang akan mengatakan penting atau sangat penting bahkan seorang pakar kearsipan mengungkapkan bahwa dunia tanpa arsip adalah dunia tanpa memori, tanpa kepastian hukum, tanpa sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa ilmu pengetahuan, serta tanpa identitas kolektif. Tetapi tidak dengan sendirinya arsip-arsip akan menjadi memori, kebudayaan, jaminan kepastian hukum, bahkan pembangun identitas kolektif suatu bangsa jika tidak diikuti dengan upaya pengelolaan arsip secara baik dan benar serta konsisten memandang dan menempatkan arsip sebagai informasi lebih dari sekedar by product kegiatan organisasi.

Arsip memang bukan hanya sekedar hasil samping dari kegiatan organisasi, arsip diterima dan diciptakan oleh organinasi dalam rangka pelaksanaan kegiatan dan disimpan sebagai bukti kebijakan dan aktivitasnya. Sebagai salah satu sumber informasi arsip memiliki banyak fungsi yang signifikan untuk menunjang proses kegiatan administratif dan fungsi-fungsi manajemen birokrasi, disamping sebagai sumber primer bagi para peneliti/akademisi.

B. Pengertian Arsip

Menurut bahasa referensi, arsip atau records merupakan informasi yang direkam dalam bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan. Pengertian tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang termaktub dalam UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.

Secara etimologi arsip berasal dari bahasa Yunani Kuno Archeon, Arche yang dapat bermakna permulaan, asal, tempat utama, kekuasaan dan juga berarti bangunan/kantor. Perkembangan selanjutnya kita mengenal archaios yang berarti kuno, archaic, architect, archaeology, archive dan arsip. Pengertian-pengertian tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan betapa sebenarnya bidang kearsipan itu sudah cukup akrab di indera dengar kita, disamping juga sudah cukup tua umur kemunculannya.

Lebih dari sekedar diskusi tentang istilah arsip, sebenarnya secara akademis kita juga akan lebih jauh melihat eksistensi kearsipan sebagai ilmu pengetahuan. Bila ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan yang tersusun dan pengetahuan adalah pengamatan yang disusun secara sistematis, maka kearsipan tentu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, kearsipan memenuhi syarat-syarat universalism, organized, disinterestedness dan communalism. Semua itu dikemukakan sebagai justifikasi terhadap eksistensi kearsipan.

Lebih jauh lagi kita dapat melacak kedudukan kearsipan dalam kerangka ilmu informasi. Dalam ilmu informasi kita mengenal dokumentasi yang didalamnya meliputi dokumen dalam wujud korporil (museum), dokumen dalam wujud literair (perpustakaan), dan dokumen privat (kearsipan).

Secara umum kita dapat mengidentifikasi dokumen dalam wujud korporil sebagai benda-benda artefak dan koleksi-koleksi antik dan karya yang memiliki nilai historis dan archaic, khasanah tersebut dikelola oleh museum.

Dokumen literair yang meliputi bidang perpustakaan disebut juga sebagai dokumentasi publik (dokumentasi yang terbuka untuk umum) yang dibedakan dengan dokumentasi privat (arsip). Dalam kaitan ini secara lebih rinci kita dapat mengidentifikasi perbedaan arsip dengan perpustakaan sebagai berikut:

1. Fungsi perpustakaan adalah menyimpan dan menyediakan koleksi buku dan bahan tercetak, sedangkan fungsi utama arsip adalah memelihara akumulasi dari bukti aktivitas / kegiatan suatu organisasi atau perorangan sebagai organic entity.

2. Pustakawan berhubungan dengan koleksi atau bahan pustaka dalam wujud berbagai kopi buku dari suatu terbitan yang sangat mungkin terdapat pada perpustakaan lain. Sedangkan arsiparis atau petugas kearsipan berhubungan dengan khasanah rekaman informasi berupa tulisan atau manuskrip yang unik dan tidak ada ditempat lain.

3. Arsip tercipta sebagai akibat dari aktivitas fungsional suatu organisasi atau personal, arsip seringkali terdapat keterkaitan informasi dengan arsip yang lain sebagai satu unit informasi atau kelompok berkas. Sedangkan bahan pustaka merupakan materi diskrit, dimana antara satu buku dengan buku lain tidak saling bergantung.

4. Bahan pustaka yang hilang dapat diganti dalam bentuk asli atau tersedia diperpustakaan lain, sedangkan arsip yang hilang tidak mungkin dapat digantikan keotentikannya dan tidak mungkin diperoleh dari tempat lain.

5. Pustakawan berinteraksi dengan buku-buku sebagai satuan individu yang masing-masing memiliki identitas tersendiri, sedangkan petugas kearsipan tidak umum memperlakukan arsip secara individu karena berkas arsip adalah kesatuan informasi.

Persamaan mendasar dari arsip dan bahan pustaka adalah bahwa keduanya membutuhkan pemeliharaan dan pelestarian. Di negara-negara maju lembaga kearsipan dan perpustakan secara umum tidak dipisahkan, ini terutama dapat dilihat pada organisasi-organisasi kearsipan dan perpustakaan di perguruan tinggi.

C. Tipologi Arsip

Tipologi arsip bisanya dikaitkan dengan media penyimpan informasi arsip. Bentuk media arsip dapat berupa kertas, film, suara maupun elektronik. Secara rinci pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Arsip berbasis kertas (paper records) yaitu arsip-arsip berupa teks yang ditulis di atas kertas. Bentuk arsip bermedia kertas ini juga lazim disebut sebagai arsip yang bersifat konvensional.

b. Arsip pandang-dengar (audio-visual records) merupakan arsip yang dapat dilihat dan didengar. Arsip pandang dengar dapat dirinci dalam 3 kategori:

1. Arsip gambar statik (static image), contohnya foto.

2. Arsip citra bergerak (moving image), film, video, dsb.

3. Arsip rekaman suara (sound recording), kaset.

c. Arsip elektronik, merupakan arsip-arsip yang disimpan dan diolah di dalam suatu format, dimana hanya komputer yang dapat memprosesnya maka sering dikatakan sebagai machine-readable-records.Contohnya floppy disk, hard disk, pita magnetik, optical disk, cd rom, dsb.

Perlu juga dikemukakan di sini bahwa berdasarkan keunikan media perekam informasi arsip beberapa literatur kearsipan menyebut adanya special format records atau arsip bentuk khusus. Contoh dari jenis arsip tersebut adalah arsip kartografi dan kearsitekturan, meskipun kedua corak arsip tersebut berbasis kertas, tetapi karena bentuknya yang unik dan khas, maka arsip-arsip tersebut merupakan arsip bentuk khusus yang dapat dibedakan dengan arsip tekstual lainya.

D. Arsip sebagai Sumber Informasi

Mengelola arsip tidak semata-mata memperlakukannya dari sudut teknis pengelolaan media rekamnya belaka, melainkan dari sisi peranan arsip sebagai sumber informasi. Dari sudut pandang ini maka nilai arsip akan mulai tampak berdaya guna, oleh karena diperlukan sebagai informasi.

Di dunia yang semakin kompleks ini, kegiatan apapun tidak lagi mengandalkan ingatan pelaksana atau pelakunya. Apa yang harus dilakukan adalah mengelola informasi melalui pengelolaan arsipnya. Benar kata pepatah bahwa memory can fail, but what is recorded will remain.

Beberapa alasan mengapa manusia merekam informasi; alasan pribadi, alasan sosial, alasan ekonomi, alasan hukum, alasan instrumental, alasan simbolis, dan alasan ilmu pengetahuan.

Lebih dari alasan-alasan di atas, dalam konteks organisasi atau korporasi saat ini perlu di garis bawahi bahwa organisasi modern adalah organisasi yang bertumpu pada informasi (a modern organization is an information based organization). Arsip sebagai recorded information jelas menempati posisi vital dalam organisasi modern tersebut. Arsip akan dibutuhkan dalam seluruh proses kegiatan manajemen organisasi, dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

E. Arsip dan Administrasi

Hubungan arsip dengan administrasi merupakan hubungan dua sisi sebuah mata uang atau hubungan antara suatu benda dengan bayangannya. Arsip sebagai bagian dari proses administrasi hanya ada apabila administrasi itu berjalan.

a. Proses

- Arsip tercipta sebagai endapan informasi terekam dari pelaksanaan kegiatan administrasi suatu instansi/korporasi.

- Arsip merupakan substansi informasi yang melekat pada fungsi, sehingga setiap pengaturan arsip harus mempertimbangkan:

o Agar informasi yang terdapat dalam arsip bisa digunakan untuk kepentingan operasional intansi/korporasi secara fungsional

o Agar informasi dalam arsip dapat dikelompokkan dalam unit-unit informasi secara spesifik agar dapat diberikan secara tepat informasi, tepat waktu, tepat orang, dan tepat guna, serta dalam waktu yang secepat mungkin.

b. Fungsi Arsip

Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsinya arsip dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Dalam literatur-literatur kearsipan (USA) kita mengenal pembedaan fungsi arsip atas records dan archives. Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung digunakan dalam kegiatan-kegiatan atau aktivitas organisasi, baik sejak perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi. Atau dalam bahasa perundang-undangan kearsipan disebut sebagai arsip yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara.

Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan lagi di dalam fungsi-fungsi manajemen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Arsip statis merupakan arsip yang memiliki nilai guna berkelanjutan (continuing value).

Arsip dinamis berdasarkan kepentingan penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan dinamis inaktif. Arsip dinamis aktif berarti arsip yang secara langsung dan terus-menerus diperlukan dan dipergunakan di dalam penyelenggaraan administrasi. Sedangkan arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekuensi penggunaannya untuk penyelenggaraan administrasi sudah menurun.

Frekuensi penggunaan yang menurun sering menjadi problematika tersendiri di Indonesia apalagi bagi instansi yang tidak memiliki JRA (Jadwal Retensi Arsip), artinya bahwa semua tergantung bagaimana suatu instansi menilai bahwa suatu arsip sudah dikatakan menurun frekuensi penggunaannya, hal ini tentu saja harus didasarkan pada kebutuhan organisasi.. Sekedar sebagai gambaran, seorang ahli kearsipan menyebutkan bahwa arsip dapat dipertimbangkan menjadi inaktif apabila penggunaannya kurang dari 10 kali dalam satu tahun.

Bertitik tolak dari fungsi dan kegunaan arsip, maka arsip sebagai salah satu sumber informasi harus dikelola dalam suatu sistem/manajemen, sehingga informasi arsip memungkinkan untuk disajikan secara tepat, kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat dengan biaya yang serendah mungkin. Dengan demikian informasi yang terekam tersebut dapat digunakan di dalam menunjang proses pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan serta dapat dijadikan referensi sebagai input yang sangat signifikan bagi proses manajemen, baik bisnis maupun pemerintahan.

c. Kegunaan Arsip

Kegunaan arsip secara umum terbagi atas dua, yaitu kegunaan bagi instansi pencipta arsip, dan kegunaan bagi kehidupan kebangsaan.

Bagi Instansi Pencipta, kegunaan arsip antara lain meliputi:

- endapan informasi pelaksanaan kegiatan sebagai wujud dari memori kolektif instansi

- pendukung kesiapan informasi bagi pembuat keputusan

- sarana peningkatan efisiensi operasional instansi

- memenuhi ketentuan hukum yang berlaku

- bukti eksistensi instansi

Bagi Kehidupan kebangsaan, kegunaan arsip antara lain meliputi:

- bukti pertanggungjawaban/akuntabilitas nasional

- rekaman budaya nasional sebagai memori kolektif dan prestasi intelektual bangsa

- bukti sejarah

F. ARSIP DAN SEJARAH

G. Penutup

Uraian di atas merupakan pokok-pokok dalam bidang kearsipan yang minimal perlu diketahui dan dipahami oleh semua elemen yang concern terhadap bidang ini, terutama para pelaku atau pengelola kearsipan. Gambaran umum di atas menjadi titik tolak yang harus dijabarkan pada tataran yang lebih detail dan dasar yang harus dikembangkan pada tingkat implementasi.

Dengan penguasaan dasar kearsipan, perkembangan bidang ilmu informasi lain tidak akan meredusir peran kearsipan bahkan seharusnya justru menunjang pengembangannya, seperti misalnya perkembangan teknologi informasi.

Perkembangan teknologi informasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Imbas dari perkembangan tersebut menyeruak kesegala bidang termasuk kearsipan. Sebagai pengelola bidang kearsipan tentu kita harus merespon secara positif perkembangan tersebut. Hal itu akan sangat menguatkan eksistensi kita sebagai pengelola kearsipan yang merupakan bagian dari pengelola informasi, sesuatu yang menjadi mainstream di abad ini.

Apabila selama ini peran pengelola kearsipan dalam suatu organisasi dipandang relatif rendah maka dengan kemampuan mengadopsi perkembangan teknologi informasi tersebut akan merubah image yang selama ini melekat pada diri pengelola bidang kearsipan .

Daftar Pustaka

Arsip dan Sejarah, Jakarta: ANRI, 1980.

Kennedy, Jay and Cherryl Schauder, Records Management, A Guide to Corporate Record Keeping Melbourne: Longman, 1998.

Mykland, Liv Protection and identity: The Archivist’s Identity and Professionalism ,Montreal:ICA, XIIth, 1992.

Penn, Ira A, Gail Pennix, Anne Morddel and Kelvin Smith, Records Management Handbook, Vermont: Ashgate Publish, 1992.

Ricks, Betty, et.al., Information and Image Management: a Records System Approach, South Western Publishing Co., Cincinnati, 1992

Robek, Mary, Gerald Brown and Wilmer O. Maedke, Information and Record Management, Los Angeles: California State University, 1987.

Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis, Pengantar Memahami dan mengelola Informasi dan Dokumen, Jakarta: Gramedia, 2003.

Wallace, Patricia E., et.al., Records Management Intregated Information Systems, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1992

Walne, Peter, eds, Dictionary of Archival Terminology, Munchen: KG. Saur, 1988.



Tuesday, March 13, 2007

JANGAN PERNAH MENINGGALKAN SEJARAH

".........dan ketika kita tidak mampu belajar dari sejarah,.........maka adalah sebuah amnesia kehidupan yang akan mengantarkan kita pada kehancuran...........